ilustrasi |
BRIGADE HIZBULLAH PBB -- Beberapa kutipan dari media massa di zaman itu menunjukkan hal tersebut. Pada 15 Juni 1944, Zainul Arifin mengeluarkan seruan yang dimuat dalam harian Asia Raja.
"Hendaknya NU menyesuaikan diri dengan keadaan zaman serta berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai kemenangan terakhir." (Asia Raja, 15 Juni 1944, p.1)
Selanjutnya dalam Musyawarah Ulama Jawa Barat dihadiri 600 ulama, 30 Juli 1944 Arifin menggugah para ulama untuk ikut berjuang,
"Tanah Jawa adalah suatu negeri yang penduduknya sebagian besar terdiri dari umat Islam, sehingga dengan sendirinya kita tidak boleh ketinggalan untuk menyelenggarakan Benteng Perjuangan Jawa. Karena itu, kedudukan kaum ulama bertambah penting. Marilah kita membaharui niat ikut berjuang dalam Benteng Perjuangan Jawa." (Harian Sinar Baroe, 1 Agustus 1944, p.3)
Selang sebulan setengah sesudah, pidato Zainul semakin bergelora menyeru umat Islam untuk menuntut dan mempertahankan kemerdekaan. Hal ini disampaikannya dalam rapat membahas pembentukan Laskar Hizbullah yang diselenggarakan Masyumi. Serunya dalam Rapat Umum Umat Islam 13 September 1944 di Taman Raden Saleh, Jakarta tersebut:
"Soal kemerdekaan dalam Islam bukanlah soal semboyan dan cita-cita saja, tetapi adalah menjadi dasar dari agama. Umat Islam yang mempunyai jiwa yang hidup harus menuntut dan mempertahankan kemerdekaan, kalau perlu dengan jiwa raganya." (Harian Tjahaja, 15 September 1944, p.1).
Selanjutnya dalam Rapat Masyumi di Banten, 15 Januari 1945 Arifin menyasar generasi muda agar mempersiapkan diri menuju kemerdekaan:
"Hanya dengan adanya pemuda-pemuda yang berani berjuang saja, keluhuran bangsa dapat tercapai." (Harian Tjahja, 18 Januari 1945, p.2)
Memang tak lama sesudahnya KH Zainul Arifin dikukuhkan sebagai Komandan Laskar Hizbullah, laskar yang ketika didirikan belum bersenjata. Namun pelatihan yang dilangsungkan di Cibarusah, Lemah Abang, Bekasi selama 4 bulan itu benar-benar merupakan kawah candradimuka bagi 500 pesertanya yang berduyun-duyun datang dari seluruh Jawa dan Madura. (Ario Helmy)
Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur secara tegas mengungkap tujuh poin alasan mengapa saat itu bangsa Indonesia harus merdeka dari tangan penjajah dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Tujuh poin pernyataan ini tidak hanya dimaksudkan Gus Dur untuk menelaah kembali arti kemerdekaan yang telah diraih bangsa Indonesia, tetapi juga sebagai dasar dan pijakan melangkah bagi Indonesia.
Hakikat kemerdekaan yang diungkapkan Gus Dur juga masyarakat tidak terjajah oleh berbagai ‘baju kotor’ yang terus menggelayuti rakyat Indonesia dalam bentuk kolonialisme modern berbalut agama, radikalisme global, penolakan terhadap tradisi dan budaya, intoleransi, kapitalisme, pencekik rakyat kecil, reduksi moralitas, dan perilaku korup.
Tujuh poin ini diungkapkan oleh Gus Dur saat memandu diskusi dalam Forum Demokrasi (Fordem) pada 8 Agustus 1991 silam untuk memperingati HUT ke-46 Republik Indonesia. Dokumen tersebut dimuat di Majalah AULA Nahdlatul Ulama.
Menurut Gus Dur, kemerdekaan yang diproklamasikan oleh para founding fathers dapat terwujud karena setidaknya harus menyatakan beberapa hal mendasar yang menjadi unsur-unsur utamanya. Hal ini juga sebagai alasan fundamental bangsa Indonesia untuk melangkah ke depan sebagai modal moral, spiritual, maupun material. Berikut tujuh pernyataan tersebut:
Pernyataan pertama, kemerdekaan lebih merupakan proses perjuangan menentukan nasib sendiri daripada keadaan yang bebas dari segala soal, kesulitan, dan hambatan. Pada tanggal 18 Agustus 1945, bangsa dan negara Indonesia menjamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD)-nya bahwa sistem yang menghambatnya (penjajahan) tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Pernyataan kedua, kemerdekaan adalah hak, hak yang mendasar bagi setiap manusia. Karena itu, harus dijamin dalam hidup kemasyarakatan, terutama dalam hidup berbangsa dan bernegara. Sejak 17 Agustus 1945 sampai dengan 17 Agustus 1959, perangkat hidup kebangsaan dan kenegaraan Indonesia disusun dan digunakan sedemikian rupa sehingga kemerdekaan justru terancam oleh tindakan sewenang-wenang (license).
Pernyataan ketiga, musuh kemerdekaan bukanlah terutama kekuasaan masyarakat dan negara, melainkan kesewenang-wenangan (license) dalam penggunaa kekuasaan itu. Tergantung dari susunan dan penggunaannya, kuasa kemasyarakatan dan kenegaraan bisa mempersempit dan memperbesar peluang bagi kemerdekaan. Dari 17 Agustus 1959 sampai Maret 1966, susunan kuasa kemasyarakatan dan kenegaraan begitu terpusat di satu tangan seorang pemimpin, sehingga kemerdekaan tidak saja tertekan, tetapi juga telah mengakibatkan malapetaka kemiskinan dan kekerasaan.
Pernyataan keempat, kemerdekaan mensyaratkan susunan dan penggunaan kuasa kemasyarakatan dan kenegeraan tertentu. Semakin terpusat kuasan itu di satu tangan, semakin tak berfungsi kemerdekaan sebagai kaidah hidup kemasyarakatan. Sejak Maret 1966, susunan kuasan kemasyarakatan dan kenegaraan kita sudah disebara meskipun harus diakui bahwa penyebaran itu masih sangat terbatas.
Pernyataan kelima, kemerdekaan sulit bertahan bahkan dalam susunan kuasa kemasyarakatan dan kenegaraan yang terpusat di beberapa tangan. Beberapa tahun belakangan ini, kurang berfungsinya kemerdekaan makin disadari sebagai biang keladi berbagai kesulitan, sepeti lambatnya laju produktivitas, mutu produk yang kurang memadai, meski daya cipta masyarakat dan daya kerja aparat kekuasaan yang rendah.
Pernyataan keenam, kemerdekaan semakin berfungsi dalam susunan kuasa kemsyarakatan dan kenegaraan yang tersebar dengan maksimal. Karena itu, risiko ancaman kesewenang-wenangan memang sangat tinggi, tapi ini mungkin bisa dicegah oleh jaminan persamaan hak bagi semua. Bila pengalaman masyarakat dan negara lain di dunia begitu diperhatikan, maka nyatalah bahwa kemerdekaan (liberty) selalu bergandeng dengan rasa persaudaraan senasib sepenanggungan (fraternity), dan persamaan hak (equality). Semua ini bukan barang jadi, tapi harus diramu, dipelihara, dan dikembangkan secara tekun terus menerus.
Pernyataan ketujuh, kemerdekaan paling mungkin berfungsi dalam suatu pengelolaan hidup masyarakat dan negara yang secara seimbang menghubungkannya dengan perasaaan senasib sepenanggungan dan persamaan hak. Upaya yang tak habis-habis dalam memeliharan keseimbangan ini bisa disebut demokrasi, di mana kemerdekaan hidup dan tanggung jawab yakni keseimbangan dengan persamaan hak bagi semua, serta dengan perasaaan senasib sepenanggungan. Mencapai keseimbangan ini adalah tugas masyarakat dan bangsa Indonesia sejak sekarang.
Tujuh pernyataan Gus Dur tersebut menjelaskan tentang hakikat kemerdekaan yang dipotret secara historis lalu dikontekstualisasikan dengan perkembangan zaman sehingga bersifat reflektif. Kemerdekaan bukan hanya langkah awal membangun kemanusiaan yang beradab, tetapi juga mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial, baik dalam skala nasional maupun global. (Fathoni)
Begitu suaminya, KH Zainul Arifin, menduduki kursi Wakil Perdana Menteri (Waperdam) dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo I (1953-1956), Ibu Hamdanah Zainul Arifin tidak dapat menolak permintaan untuk aktif berkegiatan sebagai istri pejabat negara.
"Ibu Arifin adalah ibu rumah tangga sejati yang tidak terlalu suka diekspos," komentar Asmach Syahroni yang pernah lama menjadi Ketua Muslimat NU serta sejak muda akrab bersahabat dengan keluarga besar Zainul Arifin.
Perempuan Desa
"Mamih benar-benar perempuan sederhana yang lahir dan besar di desa kecil Semplak, di Bogor," terang Zuhara Arifin, putrinya nomor 5. Sedang Hotimah, adik kandung Hamdanah mengenang, "Waktu dilamar Kang Aden, Ceu Danah baru 13 tahun. Tapi dari kecil sudah terbiasa mengurusi adik-adiknya karena ibu kami lama menderita sakit."
Zainul Arifin sendiri, meskipun baru berusia 17 tahun ketika pertama menikah namun sudah bekerja di pemerintahan kolonial (amtenar). Sesuatu yang masih sulit diraih oleh orang pribumi.
Waktu Hindia Belanda menghadapi kesulitan ekonomi sebagai dampak runtuhnya perekonomian dunia, Arifin beralih profesi sebagai pegiat seni tradisional Samrah, cikal bakal Gambang Kromong Betawi. Hanya tuan-tuan tanah kaya raya yang mampu menyewa rombongan Samrah milik Zainul. Selain itu, Zainul Arifin juga mengajar di sebuah sekolah elite di kawasan Jatinegara. Kemudian, dia mulai aktif memperdalam mengaji hingga menjadi muballigh kondang di Batavia dan Jawa Barat. Hamdanah Arifin setia mendampingi sebagai ibu rumah tangga biasa.
"Ibu Zainul lebih sering berbahasa Sunda. Orangnya sederhana. Selalu memanggil saya Ujang," kenang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam suatu wawancara tahun 2009 di Ciganjur.
Kerepotan Protokoler
"Waktu Anggut (Kiai Zainul Arifin) jadi wakil perdana menteri (waperdam), kegiatannya banyak sekali," cerita Ninik Hamdanah padaku suatu ketika, "Foto-foto. Resepsi ini itu. Kemana-mana mesti dikawal."
Hamdanah kemudian bercerita pula bagaimana repotnya selama Konferensi Asia Afrika berlangsung pada 1955. Banyak sekali yang harus ditemui.
"Raja Sihanouk dan Unu berdua orang yang ramah sekali. Yang lainnya lebih formal," urai Hamdanah.
Begitu usai Konferensi Asia Afrika, Presiden Sukarno semakin dekat dengan KH Zainul Arifin. Arifin selalu dibawanya serta keliling dunia dalam rangka menjalin persahabatan internasional. Dalam beberapa kesempatan melawat kenegaraan ke luar negeri, Hamdanah ikut mendampingi suaminya Zainul Arifin yang ketika itu sudah menjadi ketua parlemen."
"Kunjungan kenegaraan pertama waktu masih waperdam itu ke Kerajaan Arab Saudi. Sekalian naik haji."
Menurut Hamdanah tidak banyak kegiatan buat ibu-ibu di Saudi waktu itu. Kunjungan kenegaraan berikutnya adalah lawatan bersejarah ke negeri Cina.
Istana Kota Terlarang
Di Cina, acara-acara protokoler untuk rombongan istri pejabat berlangsung padat. Hamdanah sendiri bersama para istri rombongan kenegaraan, selain melakukan kunjungan kehormatan ke istri Mao Zhedong, Jiang Qing, di Istana Kota Terlarang, juga mengunjungi pembangunan bendungan, pabrik tekstil dan sekolah.
"Jiang Qing perempuan cantik dan ramah," kenang Hamdanah akan istri Mao yang memang mantan artis tersebut, "Cuma makannya waktu di Cina agak repot. Takut tidak halal."
Selain Jiang Qing, ibu-ibu negara yang dikata sangat rupawan dan anggun oleh Hamdanah adalah Ratu Sirikit dari Thailand dan Ratu Norodom Monineath Sihanouk atau biasa dipanggil "Monique".
Ratu Sirikit, permaisuri Raja Thailand dijumpai Hamdanah waktu mendampingi Zainul Arifin ikut dalam rombongan kenegaraan Presiden Sukarno ke Thailand.
"Permaisuri Thailand cantik sekali. Istana-istananya juga megah dan berlapis emas." ingat Hamdanah, "Rombongan tamu negara dijamu makan siang di atas kapal kerajaan menyusuri sungai di kota Bangkok. Satu kapal khusus untuk acara kesenian." Selain Istana Chitralada di Bangkok, Presiden Sukarno dan rombongan juga dijamu khusus di Istana di Chiangmai oleh Ratu Sirikit.
Permaisuri Indo
Presiden Sukarno bersahabat erat dengan Raja Norodom Sihanouk dari Kamboja. Keduanya sering saling mengunjungi. Dalam salah satu kunjungan ke tanah air itulah, Hamdanah Zainul Arifin berkesempatan bertemu langsung dengan Permaisuri Norodom Monique Sihanouk yang berdarah campuran Perancis dan Vietnam.
"Wajahnya seperti orang Barat. Tetapi tingkah lakunya sangat Asia."
Tugas protokoler lainnya yang harus dijalani Hamdanah adalah menghadiri jamuan-jamuan kenegaraan di Istana Negara. Seringkali dalam acara-acara menghormati tamu negara yang datang, dia harus membawa putrinya Siti Zuhara sebagai penerjemah.
"Saya selalu menerjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Sunda. Mamih lebih lancar bahasa daerah." ujar Zuhara Arifin suatu ketika.
"Malah pernah ketika rombongan istri-istri anggota parlemen Filipina mendampingi suami-suami mereka berkunjungan kerja di Indonesia, Mamih menjamu mereka di rumah kami di Jalan Cikini Raya 48. Ayah waktu itu memang Ketua Parlemen. Saya menjadi penerjemah Mamih selama jamuan." lanjut Zuhara pula.
Berkhidmah di Muslimat
Meski tadinya tidak begitu berminat ikut organisasi, Hamdanah akhirnya terlibat sebagai pengurus ormas perempuan NU, Muslimat NU.
"Ibu Zainul bergabung sebagai bendahara selama beberapa tahun," jelas Ibu Asmach Syahroni, "kemudian dilanjutkan oleh anak-anak perempuannya yang tertua. Ibu Lies dan Ibu Neneng."
Rumah di Cikini Raya seringkali dijadikan ajang pertemuan tokoh-tokoh NU maupun Muslimat NU.
"Namun Ibu Zainul kalau di rumah lebih banyak sebagai istri dan nyonya rumah yang baik. Bukan sebagai istri pejabat," pungkas Ibu Asmach menutup wawancara. (Ario Helmy, cucu almarhumah Hamdanah Zainul Arifin)
Komentar
Posting Komentar