Bencana alam yang mengguncang Myanmar pada 28 Maret 2025 menyisakan luka mendalam di tengah situasi negara yang memang belum stabil. Gempa berkekuatan 7,7 magnitudo itu meluluhlantakkan wilayah sepanjang jalur patahan Sagaing, memporakporandakan ribuan rumah, sekolah, tempat ibadah, serta infrastruktur vital. Data resmi menyebutkan lebih dari 3.700 orang tewas dan ribuan lainnya mengalami luka-luka.
Di balik derita itu, junta militer Myanmar mengumumkan perpanjangan gencatan senjata sementara hingga akhir Mei 2025. Langkah ini diklaim demi memfasilitasi proses bantuan kemanusiaan, rekonstruksi, serta membangun dasar bagi perdamaian yang lebih kokoh di negara yang sudah puluhan tahun dilanda konflik bersenjata antar etnis dan kelompok politik.
Namun, sejarah Myanmar mencatat bahwa gencatan senjata sementara semacam ini bukan hal baru. Sebelumnya, perjanjian serupa sering dimanfaatkan pihak militer untuk sekadar meredam tekanan domestik dan internasional di tengah situasi krisis, tanpa komitmen jangka panjang terhadap rekonsiliasi nasional. Publik Myanmar menyambut skeptis pengumuman tersebut.
Meski demikian, bencana besar semacam ini kerap menjadi titik balik dalam sejarah negara-negara berkonflik. Di berbagai belahan dunia, tragedi kemanusiaan yang dahsyat pernah menjadi pemicu perdamaian permanen. Myanmar memiliki peluang serupa jika momentum ini benar-benar digunakan untuk dialog terbuka lintas kelompok.
Kelompok perlawanan bersenjata di berbagai wilayah Myanmar memang sejauh ini belum menyatakan sikap resmi terkait gencatan senjata tersebut. Namun, sejumlah organisasi kemanusiaan dan pemuka masyarakat mendesak semua pihak menahan diri demi memprioritaskan penanganan korban gempa serta penyelamatan warga yang masih terisolasi di daerah terdampak.
Para pengamat politik kawasan menilai, jika gencatan senjata pasca gempa kali ini bisa diperluas cakupannya, melibatkan dialog dengan kelompok oposisi politik seperti NUG, serta mengundang perwakilan etnis minoritas ke meja perundingan, maka jalan menuju perdamaian jangka panjang bisa mulai dibangun. Momentum kemanusiaan ini seharusnya jadi titik temu.
Salah satu tantangan terbesar adalah ketidakpercayaan yang sudah akut antara junta militer dan kelompok perlawanan. Militer Myanmar selama ini dikenal kerap melanggar kesepakatan gencatan senjata sepihak, termasuk membatasi bantuan kemanusiaan di wilayah konflik. Rekam jejak buruk ini membuat masyarakat sipil dan aktor internasional tetap waspada.
Kendati demikian, tekanan internasional juga mulai menguat pasca gempa. Beberapa negara Asia Tenggara menyerukan agar ASEAN mendorong inisiatif damai baru yang tidak lagi bersandar pada skema usang seperti Nationwide Ceasefire Agreement (NCA) yang terbukti gagal. Pemimpin regional didorong aktif menjembatani komunikasi di antara faksi bertikai.
Banyak kalangan menilai, pelibatan generasi muda dan komunitas sipil yang selama ini aktif di jalur kemanusiaan juga penting dalam merumuskan peta jalan perdamaian baru. Pasca gempa, relawan lintas kelompok mulai bekerja sama di lapangan, membuka ruang solidaritas yang sebelumnya nyaris tak mungkin di tengah konflik bersenjata.
Momentum kemanusiaan semacam ini bisa menjadi modal sosial yang berharga. Jika kepercayaan lintas kelompok tumbuh di antara relawan dan warga sipil dalam proses evakuasi serta distribusi bantuan, maka dialog informal di level akar rumput bisa mulai terbangun, menjadi fondasi awal bagi rekonsiliasi nasional.
Selain itu, komunitas internasional perlu memanfaatkan situasi ini untuk mendorong pembentukan misi kemanusiaan terpadu yang diakui semua pihak. Misi ini tak hanya fokus pada rehabilitasi pasca gempa, tetapi juga mengawasi pelaksanaan gencatan senjata dan pelanggaran hak asasi di daerah terdampak.
Peluang damai abadi pasca gempa Myanmar ini memang masih tipis, tapi bukan mustahil. Banyak negara yang pernah mengalami konflik berkepanjangan mulai menata ulang hubungan sosial-politik mereka usai bencana besar, karena rasa kemanusiaan berhasil menembus sekat ideologi dan kepentingan.
Kunci utama ada pada kemauan politik junta militer Myanmar untuk tidak kembali ke pola represifnya. Jika penguasa militer benar-benar bersedia membuka ruang dialog yang setara, melibatkan oposisi sipil, kelompok etnis, dan perwakilan korban konflik, maka peluang menuju perdamaian permanen bisa terbuka.
Di sisi lain, kelompok perlawanan juga perlu mempertimbangkan tawaran damai jika benar-benar datang dengan itikad baik, demi menyelamatkan warga sipil yang selama ini jadi korban utama konflik bersenjata. Jalan damai yang inklusif harus diprioritaskan dibanding opsi kekerasan berlarut-larut.
Pelibatan ASEAN dan PBB sebagai fasilitator netral sangat penting, mengingat kompleksitas konflik Myanmar yang tak bisa diselesaikan hanya melalui upaya domestik. Keterlibatan regional dan internasional bisa menjadi penjamin implementasi kesepakatan, sekaligus tekanan politik terhadap pelanggar.
Peringatan dari bencana ini mestinya menyadarkan semua pihak bahwa rakyat Myanmar butuh kedamaian, bukan perang berkepanjangan. Sejarah bisa mencatat bencana Maret 2025 ini sebagai awal baru, jika peluang yang ada benar-benar dimanfaatkan secara bijak dan jujur.
Myanmar saat ini berada di persimpangan jalan sejarahnya. Antara melanjutkan tradisi kekerasan, atau membangun peradaban damai berbasis keadilan sosial dan keberagaman etnis. Gempa bumi besar telah menghancurkan tembok-tembok fisik, mungkin inilah saatnya menghancurkan tembok kebencian di hati masing-masing.
Jika kesempatan ini gagal dimanfaatkan, Myanmar berisiko kembali tenggelam dalam siklus konflik berdarah. Tapi jika dijadikan titik balik, negara ini berpeluang mencatat sejarah baru sebagai bangsa yang bangkit dari puing bencana menuju damai abadi.
Komentar
Posting Komentar